Dimensi Wakaf Bagi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat
Wakaf sebagai shadaqah jariyah dapat
memberikan implikasi besar bagi peningkatan ekonomi umat, wakaf juga
dikategorikan sebagai ibadah sosial yang berinteraksi membangun hubungan
harmonis antara sesama manusia dan manusia dengan Allah. Saat wakif
mendistribusikan kekayaan terjadi hubungan sosial dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan umat, sedangkan keikhlasan wakif saat mendistribusikan wakaf
di jalan Allah terjadi hubungan ketakwaan sebagai refleksi rasa syukur terhadap
nikmat Allah. Kedua hubungan di atas mengandung nilai sosial ekonomi religius
yang dapat membawa perubahan besar dalam tatanan kehidupan umat dengan
menekankan rasa tanggungjawab sosial bagi peningkatan kesejahteraan diantara
umat Islam, sebab Nabi Muhammad SAW telah memberikan peringatan kepada umat
Islam dengan sabdanya, “Tidak beriman orang yang tidur kenyang,
sementara tetangganya kelaparan.”
Refleksi tanggungjawab sosial ekonomi dapat
dilakukan dengan mengoptimalkan pendistribusian harta wakaf, dengan tujuan
sirkulasi kekayaan dapat dinikmati seluruh umat dalam usaha mencapai pemerataan
kekayaan berdasarkan prinsip keadilan. Pada prinsipnya pendistribusian wakaf
sangat potensial dalam pengembangan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
secara adil dan merata yang selaras dengan cita-cita ajaran Islam. Dalam merealisasikan
cita-cita itu, proses pendistribusian wakaf memerlukan pengelolaan dan
pengawasan secara profesional. Maka peranan lembaga wakaf sangat penting dalam
membantu terwujudnya kesejahteraan umat manusia dengan menerapkan konsep
manajemen, kepemimpinan, keuangan, distribusi secara profesional.[1]
Pendistribusian wakaf yang dikelola secara
profesional memberikan harapan pada wakif dan seluruh umat Islam bahwa efek
domino pendistribusian wakaf akan meningkatkan kesejahteraan umat. Secara
prinsip wakaf merupakan sumber modal potensial bercorak keagamaan, memiliki
dimensi sosial ekonomi yang dapat diimplementasikan dalam pengembangan ekonomi
masyarakat. Ini sejalan dengan realitas dari ajaran Islam yang senantiasa
berusaha untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi umat agar mampu
mempertahankan eksistensi hidupnya ditengah-tengah persaingan ekonomi global.
Bahkan perbedaan struktur sosial ekonomi diantara umat Islam selama
ini dapat diminimalisir melalui sirkulasi kekayaan harta wakaf secara produktif
bagi pencapaian kesejahteraan umat. Maka tujuan harta wakaf adalah untuk
membantu yayasan pendidikan umum atau khusus, kelompok profesi, yayasan Islam,
perpustakaan umum atau khusus, memelihara anak yatim dan membantu yayasan yang memberi
pelayanan kepada mereka, membantu fakir miskin, membangun masjid serta
mengisinya dengan mushaf al-Qur’an dan kitab-kitab, dan juga berinfak untuk
keperluan masjid ; membantu proyek pembangunan kesehatan dan orang-orang sakit
; dan memperbaiki jalan-jalan baik di kota maupun di desa, sebagai proyek
pemerintah dapat tercapai secara maksimal.[2]
Implikasi Wakaf Terhadap Kesejahteraan Umat
Rendahnya tingkat kesejahteraan sebagaian
besar umat Islam tidak hanya disebabkan malas bekerja (internal factor)
namun juga disebabkan eksternal factor yaitu terjadinya
monopoli kekayaan dimana konsentrasi modal hanya berada dikalangan kelompok
tertentu. Masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap institusi atau
kekuasaan, secara alami tersingkir dalam kompetisi mendapatkan kehidupan yang
layak. Produktivitas kerja yang dimiliki masyarakat tidak dapat dimanfaatkan
secara maksimal, sehingga membentuk suatu pola kemiskinan struktural.
Keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan
(pendidikan), kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah tidak hanya
diarahkan pada kesalahan masyarakat, sebab ini merupakan rentetan dari
kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan penyedian fasilatas-fasilitas
pelayanan publik secara maksimal. Dalam konotasi jamak suatu sistem
pemerintahan, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan kepada
masyarakat dalam usaha meningkatkan kesejahteraan dibidang sosial maupun
ekonomi agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Diantaranya adalah pemenuhan
kebutuhan primer dan skunder yang menjadi hak dasar masyarakat dalam
menjalankan aktivitas hidupnya. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer meliputi:
Pertama, jaminan kebutuhan-kebutuhan primer bagi
tiap-tiap individu seperti sandang, pangan dan papan. Pemenuhan kebutuhan ini
dapat dilakukan dengan kebijakan transfer payment berupa
pemberian uang atau barang secara sukarela kepada seseorang/masyarakat.
Sedangkan kategori kedua, jaminan
kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan berupa jaminan
keamanan, pendidikan dan kesehatan. Maka pemerintah sebagai pemilik kebijakan
perlu memberikan solusi dalam memecehkan problem kesejahteraan sosial
masyarakat dengan melihat realitas kehidupan masyarakat dalam hubungannya
dengan pembangunan ekonomi. Tujuannya agar gap antara kaya dan
miskin tidak berkembang secara signifikan dalam rentang sejarah pembangunan
ekonomi Indonesia pada saat ini maupun dimasa yang akan datang.
Untuk itu diperlukan suatu konsep baru dalam
menyelesaikan permasalahan kemiskinan tersebut. Dalam prinsip Islam pemecahan
masalah kemiskinan senantiasa mengacu pada penciptaan mekanisme distribusi
ekonomi yang adil, sebab hakikat permasalahan kemiskinan yang melanda umat
manusia adalah berasal dari distribusi harta yang tidak merata di tengah-tengah
masyarakat, maka dalam menyelesaikan masalah tersebut dapat dilakukan dengan
mengoptimalkan pengumpulan zakat, infak, sedekah dan wakaf yang
pendistribusiannya dilakukan secara terstruktur dan profesional.[3] Sehingga
distribusi kekayaan dalam bentuk tranfer payment dapat
terealisasi secara efektif.[4]
Konsep transfer payment secara
prinsip merupakan sistem ekonomi yang berusaha menjaga keseimbangan dalam
pendistribsuian kekayaan, tujuan akhirnya adalah terjadi pendistribusian
kekayaan secara merata ditengah-tengah kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Secara fundamental kegiatan transfer payment lebih dahulu
telah diterapkan Islam dengan cara mengoptimalkan lembaga-lembaga ekonomi
syari’ah dalam proses distribusi kekayaan. Mengutif pendapat Chapra (2000)
bahwa Islam memiliki persiapan inistitusional yang sudah terpasang untuk
memperoleh dana bagi tujuan kemaslahan masyarakat secara keseluruhan melalui
pembayaran zakat (termasuk ‘usyr) dan kontribusi sukarela dalam bentuk
sedekah dan wakaf.
Sebagai masyarakat mayoritas, umat Islam
Indonesia dapat memanfaatkan berbagai sumber modal yang dimiliki dengan
mengoptimalkan pengelolaan harta zakat, wakaf, infak, sedekah, takaful,
perbankan, reksadana dalam melakukan transfer payment.
Besarnya potensi jumlah harta wakaf di Indonesia
memberikan harapan bagi pembenahan ekonomi umat. Sebab kekayaan tersebut
dapat dijadikan modal pembangunan sosial ekonomi masyarakat dalam mencapai
titik equalibrium (keseimbangan) ekonomi dalam mencapai
tingkat kesejahteraan umat. Konteks wakaf hanya sebagai aktivitas
ibadah ilahiah perlu direvisi kembali dengan melihat esensi
dari potensi yang dimiliki harta wakaf dalam peningkatan kesejahteraan umat.
Wacana wakaf sebagai ibadah muamalah dalam kegiatan sosial ekonomi perlu
dikembangkan bahkan Akgunduz & Ahmet mengatakan “wakaf adalah sebagai
kebaikan yang memiliki keberkahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara terus-menerus dan menjaga orang lain agar mendapatkan kekayaan
miliknya”.[5]
Dalam konteks pembangunan ekonomi, harta
wakaf dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan pada sektor-sektor publik,
seperti pendidikan, kesehatan, jalan, air bersih, penerangan, jembatan, modal
usaha dan sebagainya yang manfaatnya akan dirasakan seluruh lapisan masyarakat.
Pemanfaatan wakaf dalam kegiatan pembangunan tidak terlepas dari prinsip
rasional, karena wakaf mengandung pesan sebagai penopang dalam meningkatkan
kesejahteraan umat. Maka prinsip rasionalitas dalam menopang pembanguan
kesejahteraan umat dalam pengumpulan harta wakaf perlu diterapkan prinsip
tarif. Dimana prinsip tarif dapat diaplikasikan dalam sistem perekonomian
modern berupa konsep permintaan (demand) dan penawaran (supply) terhadap
harta wakaf, disamping sistem distribusi kekayaan dari wakif kepada
mauquf ‘alaih melalui suatu lembaga pengelola wakaf yang disebut mutawalli.
Dalam sistem perekonomian modern, distribusi
harta wakaf yang dimanfaatkan dalam kegiatan produktif, implikasinya tentu akan
menggerakkan aktivitas ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Terjadinya
sirkulasi kekayaan secara gradual (terus-menerus) memberikan
dampak psikologis bagi seluruh umat Islam, sehingga mengeluarkan sebagian harta
bagi kepentingan masyarakat umum dapat menjadi trend baru bagi masyarakat
muslim. Sebab distribusi kekayaan khususnya harta wakaf sudah menjadi kewajiban
dan tanggungjawab bagi seorang muslim yang mampu untuk mengeluarkan sebagian
harta yang tujuan dimanfaatkan dalam kegiatan muamalah.
Bila merujuk perkembangan pemanfaatan harta
wakaf di negar-negara Eropa, Afrika dan Asia, secara prinsip telah berhasil
memajukan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah negara
Afrika yang berhasil dalam pembanguna masjid dan pendidikan Alquran,
pembangunan gedung sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi,
memberikan beasiswa kepada pelajar dan pendidikan gratis, menyediakan fasilitas
kesehatan (rumah sakit, pusat kesehatan, medical chek up, dan makanan
tambahan), membantu usaha kecil umat Islam dan kegiatan yang langsung
berhubungan dengan usaha meningkatkan kesejahteraan umat Islam yang seluruhnya
dibiayai dari harta wakaf.[6] Bahkan
dalam tulisan Raissouni tentang Islamic “Waqf Endowment” Scope and
Implications melalui penelitian tentang Islamic
Waqf Endowment In Some Islamic Countries, memperlihatkan distribusi
dana sumbangan wakaf yang diperoleh dari umat Islam telah dialokasikan untuk
berbagai aktivitas amal seperti : 27% untuk perluasan mesjid, 11% untuk
aktivitas mesjid, 11% untuk lembaga pendidikan, 9% untuk musafir, 8% untuk
lembaga pendidikan alquran, 7% untuk rumah sakit dan mushollah (surau), 5%
untuk 2 tempat suci (Mesjidil Haram & Mesjidil Aqsa), 5% untuk kaum miskin
dan fakir miskin, 17% untuk bermacam-macam kegiatan (usaha mikro, mini market).
Dalam beberapa penelitian yang dilakukan, proses pengumpulan dan
pendistribusian harta wakaf dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat telah
direalisasikan beberapa negara, bahkan negara Singapura yang minoritas penduduk
muslim dalam Singapore International Waqf Conference 2007 menjadikan
harta wakaf sebagai salah modal sumber modal dalam pembangunan ekonomi negera
mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini pemanfaatan harta wakaf dalam
bidang sosial seperti pendidikan telah berkembang beberapa dekade, salah
satunya adalah Pesantren Gontor dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).
Namun penggalian dan pemanfaatan harta wakaf sebagai sumber modal dalam
aktivitas ekonomi masih belum berkembang, walaupun ada beberapa wacana mengenai
penggunaan harta wakaf tunai dalam bentuk investasi, saham, modal usaha kecil,
perkebunan dan sebagainya.
Pemanfaatan harta wakaf dalam meningkatkan
kesejahteraan umat Islam khususnya pada masa yang akan datang dapat terealisasi
dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat mulai dari penguasa, pengusaha,
ulama dan masyarakat. Sebab konteks wakaf secara general adalah suatu harta
kekayaan yang diserahkan wakif kepadamauquf ‘alaih untuk dikelola
dan dimanfaatkan bagi kepentingan dan kemaslahatan ummat. Sehingga pengelolaan
wakaf yang telah diserahkan wakif kepada nadzir (mutawalli), dapat
diberdayakan secara produktif dalam menopang aktivitas perekonomian. Konteks
wakaf pada dasarnya saat ini adalah bertujuan mendistribusikan kekayaan dalam
rangka memberi ruang gerak pada setiap muslim untuk menikmati harta kekayaan
yang terkonsentrasi pada satu pihak, sehingga terjadi sirkulasi kekayaan dalam
membantu masyarakat dalam usaha meningkatkan kemampuannya mencapai
kesejahteraan.
Emperor Casino | Shootercasino
BalasHapusEmperor Casino is an online casino 바카라 사이트 in the region where you can play septcasino against real players! The site offers several different casino games to choose from! Rating: 5 · 1 제왕카지노 vote